Karya Nawal el-Saadawi.
Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka, telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja: untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka.
Novel Emra’a ‘Inda Nuqtat as-Sifr merupakan karya Nawal el-Saadawi (seorang dokter, novelis, dan aktivis feminis) yang diterbitkan pada tahun 1975. Novel ini mengangkat kisah perjuangan seorang perempuan bernama Firdaus dalam melawan ketidakadilan dan penindasan patriarki di tengah masyarakat Mesir. Karya ini sempat ditolak oleh beberapa penerbit di Mesir karena isinya dianggap kontroversial. Dalam perjalanannya sebagai pengarang feminis, Saadawi diberhentikan dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health karena aktivitasnya dianggap tidak menguntungkan oleh pemerintah. Akhirnya, Emra’a ‘Inda Nuqtat as-Sifr diterbitkan di Lebanon pada tahun yang sama.
Novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Women at Point Zero dan diterbitkan oleh Zed Books Ltd pada tahun 1983. Dalam versi bahasa Indonesia, novel ini diterjemahkan dengan apik oleh Amir Sutaarga dan pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada tahun 1989 dengan jumlah halaman sebanyak xxiv + 176. Kisah ini sendiri berasal dari pengalaman Nawal el-Saadawi ketika melakukan penelitian di Penjara Qanatir dan bertemu dengan salah satu perempuan penghuni penjara tersebut.
Novel ini memiliki label +13 and this book contains explicit sexual content and violence, which may be unsettling for some readers.
Trigger Warning: Child sexual abuse, Sexual assault, Abortion, Physical violence, Domestic abuse.
Seperti telah disinggung sebelumnya, Perempuan di Titik Nol mengisahkan perjuangan seorang perempuan dalam melawan penindasan patriarki yang ada di tengah Masyarakat Mesir. Tokoh utamanya adalah Firdaus, seorang pekerja seks yang terkenal. Namun, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa eksekusi hukuman gantung atas tindakan pembunuhan terhadap seorang germo akan segera dilaksanakan. Firdaus mendapatkan berbagai tawaran dari pemerintah untuk membebaskannya dari hukuman itu, namun ia menolak semuanya dan memilih untuk mati. Di sisa-sisa hidupnya inilah, Firdaus mengajak kita menyelami kisah hidupnya yang terjepit dalam sistem sosial yang dikuasai laki-laki, sekaligus menyaksikan berbagai ironi yang menyertainya.
Buku ini sebenarnya bisa saja diselesaikan dalam satu hari, namun kenyataannya tidak semudah itu. Perjalanan hidup Firdaus benar-benar membuatku ngos-ngosan karena emosiku dibawa naik turun selama baca ini. Sebagai seorang perempuan, jalan hidup yang ia tempuh penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan. Meski begitu, Firdaus bukan sosok yang mudah menyerah—ia justru menunjukkan bagaimana cara menantang hidup dengan keberanian dan keteguhan yang luar biasa.
Setiap halaman terasa seperti menyeretku masuk lebih dalam ke dalam lika-liku hidupnya yang penuh luka. Tidak ada ruang aman baginya untuk berpijak; ia dikelilingi oleh laki-laki yang gagal menghargai keberadaan perempuan. Bahkan lelaki asing pun bisa menjadi ancaman, karena bagi mereka, perempuan hanyalah objek pemuas nafsu. Kenyataan pahit ini berakar dari budaya patriarki yang begitu kuat, di mana perempuan dipandang lebih rendah dari laki-laki. Laki-laki merasa berhak untuk mengontrol, bahkan menganiaya perempuan—terutama istri mereka—yang dianggap wajib tunduk sepenuhnya pada suami.
Kondisi masyarakat dalam novel ini ternyata tidak jauh berbeda dengan yang kita temui di sekitar kita. Pada bagian pengantar yang ditulis oleh Mochtar Lubis, ia sempat menyinggung relevansi novel ini dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Dalam pengantar itu, beliau mengatakan bahwa,
Kepincangan-kepincangan antara perempuan dan lelaki masih cukup banyak terdapat di masyarakat yang sedang berkembang, dengan berbagai perbedaan taraf kepincangan.
Keberanian Firdaus tumbuh dari pengalaman pahitnya menghadapi dominasi laki-laki. Ia sadar bahwa harga diri seorang perempuan seharusnya dijunjung tinggi, bukan diinjak seperti kotoran. Ketegasannya dalam melawan membuatku semakin sadar bahwa kita tidak boleh diam ketika tubuh kita diperlakukan semena-mena. Kita harus berani bersuara dan tegas mempertahankan diri. Firdaus menunjukkan bahwa perempuan bisa melawan dengan caranya sendiri. Ia memiliki pendirian kuat dalam menjaga martabatnya, serta keberanian untuk menolak lelaki yang hanya berselimut rayuan namun pada akhirnya merendahkan perempuan. Dan ini adalah salah satu kutipan yang aku suka,
Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghatam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.
Aku sangat berterima kasih kepada Saadawi yang telah bertahan dan terus menyuarakan isu-isu feminisme, bahkan di tengah lingkungan yang sama sekali tidak mendukungnya. Aku juga berterima kasih atas karyanya Perempuan di Titik Nol yang berhasil membuka mataku—menamparku dengan keras—untuk lebih sadar dalam menjaga diri dan memahami nilai diri sebagai perempuan. Mari putus akar patriarki dengan memberikan edukasi yang baik kepada anak sejak dini tentang cara menghargai satu sama lain tanpa memandang gender.
Cia,
Yogyakarta, 4 Mei 2025.
Komentar
Posting Komentar