Pengalaman Membaca Buku: Susu dan Telur.
Karya Kawakami Mieko.
“Dengar, laki-laki tidak akan pernah mengerti apa yang penting bagi perempuan.”
“Apa yang penting bagi perempuan?”
“Betapa sakitnya menjadi perempuan.”
Memperkenalkan dunia anyar yang baru saja mendarat di rak buku pada bulan April 2025, buku tersebut berjudul Susu dan Telur. Karya ini ditulis oleh Kawakami Mieko dan diterjemahkan dengan apik oleh Asri Pratiwi Wulandari. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 2019 di Jepang, sementara versi terjemahan Indonesianya diterbitkan pada tahun 2021 oleh Moooi Pustaka. Dengan total 512 halaman, Susu dan Telur terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berlatar musim panas tahun 2008 dan mengangkat tema “susu”, sedangkan bagian kedua berlatar musim panas tahun 2016–2019 dan membahas tentang “telur.”
Trigger Warning: Body dysphoria, child sexual abuse, infertility, panic attacks, suicidal thoughts, physical and psychological violence.
Memasuki bagian kedua, pembaca diajak menyelami pergulatan batin yang dialami Natsuko. Ia mulai mempertimbangkan keinginannya untuk memiliki anak, meski tanpa kehadiran pasangan dengan melakukan program donor sperma. Dalam prosesnya, Natsuko mulai mempertanyakan sekaligus mencoba memahami makna menjadi seorang ibu bagi anak yang akan dibesarkan tanpa kehadiran sosok ayah.
Karya ini disajikan dari sudut pandang orang pertama dengan banyak detail untuk setiap kejadian dan situasi yang dialami oleh tokoh utama, Natsuko. Menariknya, meski dituturkan dari sudut pandangnya, kita tetap bisa memahami situasi karakter lain dengan sangat baik melalui cara Natsuko melihat dunia di sekelilingnya dan ketika ia sedang mendengarkan lawan bicaranya. Hebatnya, narasi dalam cerita ini benar-benar berhasil membawa aku hanyut dalam arus perasaan tokoh utama. Salut untuk penulis, dan salut juga untuk penerjemahnya.
Pada bagian musim panas pertama, ada catatan dari Midoriko (keponakan Natsuko) tentang apa yang sebenarnya ia rasakan. Jujur, aku merasa gampang relate sama isi catatan itu. Rasanya kayak dengerin curhatan Midoriko secara langsung. Menurutku catatannya sangat menggambarkan kegelisahan seorang remaja yang baru puber dan sedang mempertanyakan banyak hal — baik yang terjadi pada tubuhnya maupun lingkungan di sekitarnya.
Tapi yang paling aku soroti dari buku ini adalah kesadaran baru yang aku dapatkan: bahwa perempuan punya kekuatan untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Perempuan tidak selemah itu. Dari tokoh-tokohnya, aku juga belajar bahwa meninggalkan pasangan yang tidak bisa memberikan timbal balik yang sehat — terutama yang bersifat patriarki — adalah bentuk keberanian yang luar biasa untuk mencapai kebahagiaan dan kebebasan.
Sepanjang baca Aku benar-benar menikmati narasi yang disuguhkan, meskipun sering kali dibuat kesal oleh karakter-karakter yang begitu mudah menyakiti perempuan yang menjadi pasangan hidup mereka. Ada satu kutipan yang sangat aku suka, bunyinya gini, “Kenapa dia harus dibuat sengsara oleh orang asing cuma karena orang itu dinikahinya?” #NANGIS.
Oh iya, cuap-cuap terakhirku tentang buku ini, Natsuko sendiri bekerja sebagai penulis, dan sebagai seseorang yang juga hobi menulis, aku merasa cukup relate dengan banyak hal yang ia alami. Walaupun aku bukan penulis profesional, ada banyak bagian dari kehidupannya yang bikin aku merasa “ketampar” dalam cara yang menyadarkan.
Cia,
Yogyakarta, 23 April 2025.
Komentar
Posting Komentar