Pengalaman Membaca Buku: Lelaki Tua dan Laut.

 Karya Ernest Hemingway.

"Banyak nelayan yang terampil dan beberapa yang betul-betul baik. Tetapi hanya kau yang demikian di sini." 
"Terima kasih. Kau membuatku bahagia. Moga-moga tidak akan ada ikan yang besar yang akan membuktikan bahwa anggapan kita keliru."

"Tidak akan ada ikan yang mampu berbuat begitu selama kau masih sekuat apa yang kau katakan sendiri."

"Barangkali aku tidak lagi kuat seperti anggapanku sendiri. Tetapi aku mengetahui akal dan punya keteguhan hati."

Lelaki Tua dan Laut adalah salah satu mahakarya Ernest Hemingway yang pertama kali terbit pada tahun 1952 dengan judul asli The Old Man and the Sea. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, dengan beberapa versi yang berbeda. Versi terjemahan Bahasa Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1973, diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya. Kali ini, saya berkesempatan membaca versi terjemahan Sapardi Djoko Damono, yang diterbitkan oleh penerbit KPG pada tahun 2016. Buku ini tidak terlalu tebal, hanya berjumlah 102 halaman.

Lelaki Tua dan Laut mengisahkan tentang Santiago, seorang nelayan tua yang telah mengarungi delapan puluh empat hari di lautan tanpa menangkap seekor ikan pun. Kegagalannya membuat orang-orang di sekitarnya mulai menganggapnya sebagai salao—seorang yang terkena nasib paling buruk. Di tengah kesendirian itu, ada Manolin, seorang pemuda yang setia menemani Santiago dalam pelayaran-pelayarannya. Namun, karena tekanan dari orang tuanya, Manolin terpaksa beralih ke kapal lain yang dianggap lebih membawa keberuntungan. Tak menyerah pada pandangan orang lain, pada hari kedelapan puluh lima, Santiago mengambil keputusan untuk kembali melaut, berlayar lebih jauh ke wilayah yang belum dijangkau nelayan lain. Ia ingin membuktikan sesuatu—bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri bahwa ia bisa mendapatkan ikan. Di sanalah, perjuangan sesungguhnya dimulai, antara manusia, laut, ikan dan waktu.

Sebelum membaca versi ini, aku sebenarnya sudah lebih dulu mencoba membaca The Man and the Sea yang diterbitkan oleh Penerbit Narasi. Namun, aku merasa kesulitan memahami tatanan bahasa yang ada di versi tersebut, sehingga aku memutuskan untuk beralih ke versi yang diterjemahankan oleh Sapardi Djoko Damono. Kedua versi sebenarnya telah menerjemahkan cerita ini dengan sangat baik dan berhasil membawaku mendalami perjalanan Santiago, tetapi versi Sapardi berhasil mencuri hatiku.

Buku ini terbilang cukup tipis, hanya 102 halaman, namun aku membutuhkan waktu satu hari untuk menyelesaikannya. Ada saat-saat ketika aku merasa bosan dan memilih untuk tidak melanjutkannya. Mungkin karena fokus ceritanya hanya pada satu permasalahan: perjuangan Santiago melawan seekor ikan besar dengan mengandalkan usahanya sendiri di tengah laut. Meski begitu, aku tetap mengagumi bagaimana Ernest Hemingway merangkai kisah ini dengan sangat apik—menghadirkan lika-liku yang tidak terduga dan semangat juang Santiago yang terus membara, bahkan ketika kematian terasa begitu dekat.

Buku ini banyak diwarnai oleh monolog Santiago dan terus menyoroti perjuangannya di tengah laut, sehingga membuat karakternya terasa begitu kuat. Meskipun tampak tangguh, sebenarnya Santiago juga memiliki sisi kesepian yang membuatku merasa sedih, apalagi saat membaca bagian ini,

"Apa yang akan kau makan?" tanya anak itu.

"Sepanci nasi kuning dan ikan. Kau ingin makan?"

"Tidak. Aku akan makan di rumah. Boleh kubuatkan api?"

"Tidak usah. Biar nanti kubuat sendiri. Atau biar kumakan nasi dingin saja."

"Boleh kuurus jala itu?"

"Tentu saja."

Sesungguhnya tiada lagi jala itu dan anak laki-laki itu ingat ketika mereka menjualnya. Tetapi mereka suka berkhayal setiap hari. Juga tidak ada panci nasi kuning dan ikan, dan anak itu juga tahu.

Masih ada banyak bagian lain yang membuatku merasa sedih. Sekali lagi, aku ingin berterima kasih kepada Ernest Hemingway karena telah menciptakan karakter Santiago yang begitu membekas di hati pembaca.

Setelah membaca buku ini, aku bisa melihat makna tersirat yang ada di dalamnya. Makna tentang perjuangan seseorang untuk meraih apa yang ia inginkan tidak akan pernah semudah membalikkan telapak tangan. Ada berbagai cobaan yang harus dihadapi, ada keresahan dan kepanikan yang harus diatasi, serta tekad yang harus tertanam dengan kuat di dasar hati. Usaha yang kita lakukan pun tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dan sekali lagi, kita diingatkan untuk memberikan ruang ikhlas di hati setiap kali berjuang, karena apa yang dimiliki manusia bersifat sementara. Kita harus belajar mensyukuri apapun yang ada dalam hidup kita.

Rasanya, buku ini seperti memberikan petuah kepada pembaca untuk tidak patah semangat dalam mengejar impian, meskipun terkadang rasanya mustahil untuk meraihnya. Lagi-lagi ada sebuah kutipan yang membekas,

"Berlayarlah terus dan bertindaklah kalau sesuatu terjadi nanti."

Mungkin buku ini bisa menjadi salah satu bacaan yang menguatkanmu ketika merasa dunia sedang menghalangi jalanmu menuju mimpi.

Terakhir, menurutku lagu yang paling cocok untuk menggambarkan buku ini adalah "Hatimu Sama" dari The Overtunes. Sepanjang membaca buku ini, hanya lagu ini yang terus terngiang di pikiranku. Lagu ini seperti pengingat bahwa ketika kita memiliki mimpi, kita perlu terus menggenggamnya erat—meskipun hidup terasa berat, bahkan saat orang lain meremehkan perjuangan kita. Kita bisa berjuang dan bertahan. Pesan itu begitu terasa dalam lirik berikut:

Pernahkah kau merasa semangatmu tenggelam, tak ada arti
Melangkah, kau melangkah, semua sia-sia
Mereka tak mengerti, cerita milikmu
Belum mencapai akhirnya, walau terlihat semua sia-sia
Ingatlah hati kecilmu di balik rapuh tubuhmu
Tersimpan satu cahaya, jangan lepaskan
Teruslah bertahan

Cia,
Yogyakarta, 27 April 2025. 

Komentar