Kiamat.
Pemerintah baru saja mengirimkan sebuah berita duka massal melalui pesan teks. Katanya malam ini kiamat akan mengambil alih kuasa di dunia. Jarum jam menunjuk pukul empat dini hari. Rembesan isak tangis manusia mulai terdengar di seluruh kota.
Aku genggam erat botol terakhirku sembari menatap luasnya laut yang akan berkontribusi memakan nyawaku malam ini. Ramalan tetang kiamat ini telah digaungkan sejak sebulan yang lalu. Banyak manusia berusaha menutup pintu dunia dengan meraung dalam doa agar malaikat maut tidak menampakan diri di hadapan mereka. Aku perhatikan kanan kiriku, melihat bagaimana dunia dan seisinya yang lapuk akan diluluhlantahkan oleh takdir yang tidak bisa diubah, bahkan oleh penyihir terkuat di dunia.
Semua sudah bersiap menyambut hari ini, kecuali aku.
Dengan sisa waktu yang ada, apakah aku masih bisa menggali harta karun yang terkubur di setapak ladang gersang yang kutemukan di kamar Ibu? Apakah masih ada waktu untuk mengambil nektar bunga tidur yang menggenang di bawah kasur Ibu dan membiarkan Ibu menikmati tiap tetes manis dari mimpi indah yang pernah ia miliki? Apakah masih ada waktu untuk bersujud dan membawa intensi penuh kebahagiaan untuk Ibu ke hadapan Yang Kuasa?
Semalam, sebelum aku memutuskan untuk berkeliling di kota, aku sempat berbicara dengan Ibu. Dia bertanya, “Di sisa waktu hidupmu saat ini, ke mana langkah akan membawamu, Nak?” Saat mendengar pertanyaan itu, hatiku seperti diremas oleh raksasa buas. Telah lama aku memikirkan bagaimana cara membuat Ibu bangga dengan segala usaha yang aku punya. Namun, sayang sekali, aku dilahirkan dengan kemampuan untuk membuat Ibu menyimpan luka setiap harinya. Aku coba jawab pertanyaan itu setelah terdiam lama, “Aku akan pergi untuk mengurus sisa mimpi yang kumiliki dengan menaburkannya di seluruh kota ini, Bu. Biarlah mereka menetap di sini selamanya. Jika aku dikembalikan lagi ke dunia, aku akan menjemput dan menggali mereka satu per satu hingga jatuh helai rambut terakhirku.” Ibu tersenyum dan memperbolehkanku pergi. Sorot matanya terlihat bangga, sedangkan lidahku terasa kelu, hatiku semakin nyeri dan mataku terasa sepanas mentari.
Dan di sinilah aku berada, memenuhi rencana yang sudah aku sampaikan kepada Ibu. Laut ini adalah tempat favoritku dengan Ibu. Sejak aku kecil, Ibu sering mengajakku ke sini dan bercerita bahwa laut bisa saja menjadi teman maupun musuh. Maka, sembari menggenggam botol mimpi terakhir, aku memohon kepada laut untuk tidak menjadi musuhku ketika nantinya aku harus mengambil kembali botol ini — botol berisi mimpi-mimpi milik Ibuku yang tidak pernah membuatnya melambung tinggi karena ada aku yang terus mengikat kakinya.
Cia,
Yogyakarta, 8 Februari 2025.
Komentar
Posting Komentar